Welcome!!

Selamat Datang Di Blogku!! Datangi terus Blogku, dan dapatkan tips-tips dariku..

Selasa, 29 November 2011

Ghost Writer Cilik ( By Glorizna ) Copas Nih!!

“Naskahnya sudah jadi, kan?” terdengar sebuah suara dari dalam Ruang Ekskul Mading.
        “Sudah, dong,” jawab sebuah suara lagi.
        “Bagus! Idenya sudah sesuai dengan yang kuberi tahu kemarin, kan?” tanya suara yang pertama.
        “Tentu saja.”
        “Oke! Besok kita terbitkan. Atas namaku,” ucap suara yang pertama lagi.
        “Siip. Honornya berapa?” suara yang kedua mengerjap-ngerjapkan matanya, berharap.
        “Nih!” Yang ditanya menyodorkan dua lembar uang lima puluh ribuan.
###
        Esok paginya, di sebuah Sekolah Dasar ....
        “Eh, lihat! Mading-nya masih fresh, lho! Lihat, yuk!” ajak Novi sembari menarik lengan Nada, sahabat karibnya.
        Mereka berdua segera nimbrung. Ramainya papan besar berwarna kelabu yang biasa disebut mading itu hanya menyisakan beberapa senti untuk jalan yang menghubungkan perpustakaan dengan Ruang Guru. Karena anak yang lain asyik membaca mading yang masih ‘hot from oven’.
        Setelah ‘menyusup’ layaknya detektif yang baru saja menerima kasus, Novi dan Nada berada tepat di depan papan mading itu.
        “Waah ... Serial Triple A muncul lagi! Asyik!” sorak Novi, “ini kan buatan sahabatku.” Novi mengerlingkan matanya pada Nada. Yang disindir tersenyum malu.
        Setelah puas cuci mata di mading, kedua sahabat itu pergi ke kantin.
        “Nad, besok aku yang melanjutkan, ya,” pesan seseorang saat Nada memesan bakso di kantin.
        “Pasti.” Nada mengangkat kedua ibu jarinya, bertanda setuju.
###
        Di Ruang Ekskul Mading ....
        “Nad, ada anak baru, lho,” Jani si Penggosip berbisik.
        “O iya?” Nada membereskan lembaran-lembaran kertasnya.
        “Iya,” ucap Jani dengan berbisik, “kabarnya dia juga ikut Ekskul Mading.”
        “Hmm,” Nada bergumam sambil menganggukkan kepalanya.
        “Namanya Leni,” kata Jani tanpa ditanya.
        “Terus?” tanya Nada sambil merapikan jilbabnya yang miring.
        “Yaa, nggak kenapa-kenapa, sih. Cuma lagi hot aja,” Jani centil merapikan poninya. Nada tersenyum kalem, kemudian duduk di bangkunya. Tepat saat Bu Sarah, Guru Sastra mereka, masuk di ruangan.
        Tepat dengan dugaan Jani. Ada seorang anak perempuan berambut panjang mengekori Bu Sarah.
        Setelah berdoa, Bu Sarah menjelaskan,
        “Ada anak baru yang mengikuti Ekskul Mading kali ini. Ayo, Leni!”
        “Assalamu ‘alaikum, Temans. Namaku Leni Nurkhalisa. Kalian cukup memanggilku Leni. Makasih …,” ucap Leni dengan centil. Bisa dibilang, lebay.
        Bu Sarah menyapu pandangan di ruangan, yang rata-rata berekspresi―biasa aja kali!
        “Baiklah, Leni, kamu bisa duduk di sana,” tunjuk Bu Sarah pada sebuah bangku malang yang harus diduduki Leni.
Dan, benar saja. Bangku malang itu harus tegar untuk memopang Leni yang tidak bisa diam, yang seringkali menyandarkan tubuhnya hingga membuatnya nyaris terjatuh.
        “Baiklah. Yang lain, tahu apa itu lead?” Bu Sarah menutup spidol papan tulisnya.
        Hening.
        Bu Sarah menghela nafas. “Lead itu sebuah awalan cerita, yang membuat si pembaca akan penasaran pada karya yang kita buat,” jelas beliau seraya menuliskan apa yang diucapkannya.
        Semuanya ber-o-o-ria, kecuali Leni yang berseru,
        “Bu, pulangnya kapan, yah? Saya ada syuting, nih. Aduh … pak supir saya sedang menunggu, tuh .... Iiih, tolong dipercepat, yaa ....”
        Doeng! Ni anak maunya apa, sih? Ya sudah, kalau nggak mau ekskul, mendingan pulang aja, sono! ‘Syuting’ aja. Mengganggu pemandangan kelas, tahu! gerutu Nada dalam hatinya.
        Untunglah, Bu Sarah masih bisa bersabar. Dan untunglah, bel bertanda usainya ekskul hari ini cepat berbunyi.
###
        Nada asyik mengetik naskahnya di komputer di dalam Ruang Ekskul Mading, sepulang sekolah. Ia tampak asyik sampai tak menyadari seorang perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah Leni.
        “Nada …,” panggil Leni dengan gaya yang dibuat-buat. Ia bersandar di ambang pintu yang membuat setiap orang yang melihatnya pasti akan berkata dalam hati, woy! Biasa aja ...!
        Nada menoleh. “Apa?”
        “Lagi apa?” Leni masuk dan duduk di sebelah Nada. Ditanya kok malah balik nanya …! Gimana sih …, batin Nada kesal.
        “Lagi ngetik naskah yang nggak berguna. Kenapa?” suara Nada tampak berat.
        “Nggak, sih. E-eh, kok, Nada bisa nulis, sich .... Apa rahasianya?” Leni mengibaskan rambutnya.
        Hati Nada menjawab, iya, lah .... Dari TK aja juga udah bisa! Tapi nggak tahu kenapa, mulutnya menjawab, “Yaa, menulis itu memang gampang, kok.”
        Leni ber-o-o-ria.
        “Ajarin, dong! Ya, ya?” harap Leni dengan mata berbinar.
        Nada melengos. Tapi akhirnya dia menjawab, “Baiklah. Jadi ....”
###
        “Nah, jadi begitulah, kira-kira ....”
        Leni manggut-manggut. Kemudian ia bertanya, “Terus, Writer Block itu apa maksudnya?”
        Wajah Nada berlipat seketika. “Writer Block itu gejala dimana sang penulis kehabisan ilustrasi untuk menulis. Bisa dibilang, bad mood for writing,” ucap Nada mulai berapi-api. Berapi-api karena kesal, maksudnya.
        “Hmm .... Terus, kalau Ghost Writer itu apa?” tanya Leni lagi seraya memicingkan matanya, seolah sengaja melontarkan perkataan tersebut.
        Ekspresi Nada berubah seketika. “Untuk apa kamu bertanya seperti itu?” sergahnya.
        “Yaa, aku kan, penasaran,” jawab Leni santai sambil membetulkan poninya dengan genit.
        “Ini bukan urusanmu.” Nada kembali khusyuk meneruskan naskahnya.
        Leni mendengus kesal. “Kalau nggak salah, GW alias Ghost Writer itu … seseorang yang ‘menyewa’ seorang penulis―terkenal ataupun tidak―untuk menyelesaikan naskah. Ya, kan?”
        Nada terkejut. Sejenak ia menghentikan kegiatannya. “D-dari mana kamu tahu?”
        Leni tersenyum. “Kan, aku ikut ekskul mading!”
        Nada menepuk keningnya. Kukira dia tidak konsen selama ekskul tadi!
        “Terus ....” Ucapan Leni terpotong oleh seseorang,
        “Nad, naskahnya sudah jadi!”
        Nada terkejut. Olala!
        “Zahra! Sedang apa kamu di sini?!” Nada berdiri, tangannya berusaha menutupi layar komputer yang masih menyala.
        “Eh, ya sudah jelas, dong! Untuk ngantarin naskah Serial Triple A hari ini! Semuanya sudah kutulis, lho,” jawab Zahra bangga. Sekali lagi, Nada menepuk keningnya.
        “Lho? Nada … kamu ....” Wajah Leni tampak tidak percaya.
        “A-apa?!” Nada terlihat was-was.
        Leni hening.
        “Nad, jadi atau tidak, sih? Terus, kamu lagi ngetik apa di situ?” Zahra menghampiri Nada karena heran.
        “Ini bukan apa-apa, kok!” jawab Nada sambil memalingkan wajahnya.
        Namun Leni dan Zahra masih tidak percaya.
        “Lihat …! Sini!” Zahra dan Leni menarik Nada.
        “Aa, ini bukan apa-apa!” Dengan gigih Nada mempertahankan posisinya.
        Tapi, usaha Nada gagal! Leni dan Zahra saling pandang saat melihat layar komputer yang sedari-tadi berpandangan dengan Nada.
        “Lho, ini kan naskah Serial Triple A!”
        “Nad, maksud kamu apa, sih?”
        “Kan, kamu sudah janji sama aku!”
        “Aku nggak percaya!”
        Wajah Nada semakin terlipat.
        “Nad, kamu kan, sudah pesan naskah Serial Triple A untuk minggu depan!” seru Zahra lantang. Ya, lantang! Nada mendekap mulutnya.
        “Zahra …! Kenapa kamu … ugh ....” Nada mendelik pada Zahra dengan tatapan bagaikan Lord Voldemort, salah satu tokoh antagonis di film Harry Potter.
“Ups!” Zahra mendekap mulutnya karena ia sudah keceplosan!
        “Nada ‘menyewa’ Zahra? Zahra seorang Ghost Writer?!” Leni tercengang. Suaranya menggelegar layaknya ia menelan MC saat sarapan tadi.
        “Aku nggak percaya!” geram Leni sambil menggebrak meja komputer.
        Klik!
        Eh? ‘Klik’?
        Tanpa sengaja Leni meng-klik mouse yang bergeser ke sudut kanan atas, sebuah kotak kecil bergambar silang dan berwarna merah.
        “AAA!! LENI!!!”
###
        Kelas Nada terdengar ricuh. Kini ia sangat malu dan sangat kesal pada ulah Leni. Di dalam hati ia menyumpah-serapahi Leni.
        Aaa, pasti nanti aku disuruh ke Ruang Guru …, hati Nada berkata.
        Dan, benar saja. Beberapa menit kemudian ia, Zahra, dan Leni tentunya, dipanggil ke Ruang Guru.
        “Ibu tidak percaya,” kata Bu Sarah saat mereka berada di Ruang Guru. “Sudah bertahun-tahun Ibu mengajari kalian di bidang tulis-menulis―termasuk tentang Ghost Writer―tapi kaliannya malah mengambil jalan yang salah.” Beliau menghela nafas.
        Nada dan Zahra deg-degan. Sedangkan Leni tampak tenang-tenang saja. Toh, ia dipanggil sebagai saksi. Juga pengadu, batin Nada kesal.
        “Apa betul, Nada telah ‘menyewa’ Zahra untuk menyelesaikan naskah Serial Triple A yang mengaku sebagai karangannya Nada?” tanya Bu Sarah dengan nada marah dan kecewa.
        “I-iya, Bu …,” jawab Zahra dan Nada bersamaan.
        “Tapi Bu, idenya ide saya sendiri! Saya ‘menyewa’ Zahra karena saya sibuk untuk persiapan Ulangan Akhir Semester,” imbuh Nada membela dirinya.
        “Ya, Ibu paham masalahmu, Nak,” ucap Bu Sarah, kembali menghela nafas.
        “Bu, Nada tidak bersalah!” bela Zahra.
        “Terus?” tanya Bu Sarah, “ini apa? Serial Triple A karangannya Nada atau Zahra?” Beliau menunjuk beberapa lembar kertas yang berisi sebuah cerbung.
        Nada dan Zahra terbelalak. Karena keheranannya, Nada dengan tak sengaja telah lancang merebut naskah itu dari Bu Sarah.
        Nada menepuk kening.
        “Ini bukan karangan saya, Bu!” aku Nada.
        Bu Sarah melirik Zahra.
        “Bukan ide saya juga, Bu! Nada ‘menyewa’ saya, ya, itu betul. Tapi saya mengetik naskah sesuai dengan perintah Nada,” kata Zahra.
        “Naskah yang saya ketik kemarin―maksud saya, karangan dan ide saya―terhapus karena ulah Leni,” adu Nada.
        “Oh?” Bu Sarah kembali mangambil naskah tersebut. “Terus? Siapa?” Giliran beliau melirik Leni.
        “Hehehe, itu karya saya, Bu,” aku Leni cengar-cengir.
        “Sudah diterbitkan?” Nada tak percaya.
        “Sudah .... Lihat!” tunjuk Leni pada mading di dekat Ruang Guru. Tampak segerombol anak-anak melihat mading yang masih baru.
        “Wah, ini mah, bukan karyanya Teteh Nada, atuh!” komentar anak kelas empat yang bertubuh gemuk. “Lebay pisan, euy!”
        “Iya! Bahasanya terlalu lebay!” Yang lain mengiyakan.
        Nada melirik Leni kesal. “Len, siapa yang nyuruh kamu untuk nulis ni naskah?!”
        Leni mengerjap-ngerjapkan matanya, genit. “Kan, kamu bilang, kalo yang kamu ketik kemarin itu naskah yang nggak berguna!” jawabnya santai.
        “Aaa, Leni!” jerit Nada kesal.
###
        Beberapa hari kemudian, Leni pindah sekolah. Kenapa? Olala, ia tidak tahan karena malu. Kenapa ia malu? Karena dia sudah melanjutkan naskah orang tanpa seizin yang punya.
        Sedangkan Nada? Ia melanjutkan naskahnya sendiri, tanpa Zahra. Karena ia tahu, ‘menyewa’ seorang Ghost Writer itu perbuatan yang kurang pantas.
        E-eh, tapi terserah kaliannya juga, sih. Menurut kalian, menjadi Ghost Writer itu baik atau tidak? ‘Menyewa’ Ghost Writer itu baik atau tidak? Hmm, kalau ‘menyewa’ Ghost Writer sih, tidak apa-apa. Tapi, kamu kamu ‘menyewa’ saat sedang sibuk saja! Misalnya seperti Nada tadi.
        Nada ‘menyewa’ Zahra karena ia sibuk untuk Ulangan Akhir Semester yang semakin dekat. Bukan karena ia tidak pintar menulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kalau butuh, Comment Pliss